Menjadi Pemimpin, Menjadi Pembelajar
“Bagaimana hendak memimpin ke masa depan, sedang jalan itu tak tampak di hadapan?”
Sebagaimana tak banyak guru pada sekolah formal menyadari bahwa ia adalah pemimpin, belum banyak pula para pemimpin yang menyadari bahwa ia adalah guru.
Kala saya meminta para guru di sebuah sekolah untuk mengangkat telunjuk dan menunjuk pemimpin di ruangan, kebanyakan akan menunjuk mereka yang memiliki jabatan, seperti kepala sekolah atau wakilnya. Padahal para guru ini setiap hari menghadapi puluhan murid yang mereka pimpin pikiran, perasaan, jiwanya, bahkan masa depannya.
Sebaliknya, para pemimpin yang menduduki jabatan juga tak pernah memahami bahwa setiap orang yang berada dalam tim bukanlah mereka yang kompeten dengan sendirinya untuk segala keadaan. Tiap orang selalu perlu untuk belajar, dididik, dan siapa lagi yang bisa menjadi pendidik selain sang pemimpin itu sendiri? Tanpa ia sadari, tiap instruksi yang diberikan membentuk kebiasaan. Tiap kata yang diucapkan bisa menjadi inspirasi. Tiap tugas yang diberikan membentuk pengalaman yang menjadi barisan rekam jejak di curriculum vitae mereka—membentuk identitas diri mereka.
Maka ketika ditanyakan tentang pemimpin yang amat berkesan pada seseorang, kiranya yang mereka ingat selalu tentang apa yang pemimpin itu dididikkan padanya, disadari atau pun tidak. Sang pemimpin mungkin tak berkata-kata, melainkan hanya mencontohkan saja. Tapi contoh itu terekam dalam jejak pikiran dan membentuk rasa, lalu keinginan untuk menirunya. Kok bisa, umpamanya, seorang yang tak pernah ikut kursus kepemimpinan, bisa memimpin setelah sekian tahun ia bekerja? Bukan karena bakat atau garis tangan. Melainkan ia belajar memimpin juga, dari caranya dipimpin. Jadi pemimpin sebenarnya senantiasa mewariskan gaya kepemimpinan pada timnya. Suka atau pun tidak.
Menyadari hal ini, para pemimpin yang menginspirasi rupanya adalah para pembelajar. Leaders are readers, ungkap banyak nasihat. Meski tak semua pembaca itu pemimpin, tapi banyak pemimpin, ditemukan adalah pembaca. Betul, belajar tak hanya soal membaca. Namun membaca sepertinya cara mengakuisisi pengetahuan yang paling cepat dan efisien di tengah kesibukan sehari-hari.
Para pemimpin ini tahu betul bahwa apa yang mereka tahu saat ini hanyalah berasal dari apa yang pernah mereka alami. Dan pengalaman selalu memiliki 2 sisi: baik dan buruk. Efektif dan tidak. Bisa jadi ada banyak pengalaman baik yang bisa diulang lagi. Namun tak sedikit punya pengalaman yang sejatinya tak efektif, namun kadung diadopsi oleh diri tanpa disadari. Maka belajar terus adalah satu-satunya cara untuk mengkalibrasi pengetahuan yang dimiliki. Sebab mungkin saja seorang pemimpin mengadopsi gaya kepemimpinan pendahulunya, untuk memimpin generasi yang kini telah jauh berbeda. Bukan gaya itu buruk. Ia baik pada masanya. Tapi generasi yang baru memerlukan cara memimpin yang diperbarui pula. Dan sang pemimpin baru bisa mengambil jarak dengan dirinya, lalu melakukan perbaikan, ketika ia terus belajar.
Menjadi pembelajar juga mengilhami pemimpin untuk memahami bahwa setiap pertumbuhan memerlukan proses. Pencapaian target hanyalah pertemuan antara kemampuan dan kesempatan. Kesempatan tak mesti bisa dikendalikan. Namun kemampuan bisa. Jadi agar dapat lebih mudah meraih kesempatan—mencapai target—tiap orang hanya perlu terus meningkatkan kemampuan. Maka tugasnya bukanlah semata menggerakkan orang mencapai target. Tugas utamanya ialah mendidik orang agar selalu memiliki kemampuan untuk menyambut kesempatan. Menjadi pembelajar memungkinkannya untuk mahfum bahwa ini perlu waktu, perlu perhatian. Sebab yang belajar adalah manusia yang digerakkan oleh pikiran, tubuh, dan jiwanya. Jadilah kedua tangan perlu bekerja. Satu tangan menggerakkan pencapaian. Satu lagi menggerakkan pengembangan.
Di titik ini, barulah saya paham kalimat Warren Bennis yang saya baca bertahun-tahun lalu. Leadership can’t be taught, but it can be learned. Kepemimpinan tak bisa diajarkan. Benar juga. Kita mungkin bisa mengajari teori kepemimpinan, tapi bukan kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan hanya bisa dipelajari oleh sang pemimpin melalui pengalamannya. Ia lah yang mesti membuka kesadaran dan memulai perjalanan mendidik diri agar lebih baik dalam mendidik orang lain.
Teddi Prasetya
Facilitator, Dunamis Organization Services