Meneropong 2023 dari Zona-zona Perubahan
Akhir tahun 2022, kita melihat perkembangan yang signifikan dalam banyak hal. Dibandingkan 2021, organisasi yang menerapkan kebijakan kembali bekerja dari kantor meningkat. Kegiatan pariwisata makin marak, ditandai mudahnya tiket pesawat dan kereta yang habis jelang akhir tahun. Konser-konser musik pun mulai menjamur, setidaknya bisa dilihat dari sebuah perusahaan yang saya kenal tak mendapatkan jadwal Sheila on 7 untuk manggung di perayaan ulang tahun mereka yang masih baru akan terjadi di kuartal 1 2023. Kita optimis 2023 akan lebih baik. Namun bagaimana agar optimisme ini bukan optimisme buta?
Adalah Scott Miller dalam karyanya Everyone Deserves a Great Manager menguraikan bahwa perubahan memerlukan setidaknya 4 zona. Model perubahan yang ia kemukakan dalam buku ini menarik, sebab kita bisa berkaca ada di zona mana kita saat ini berada, dan bisa ke mana kita menuju. Zona pertama ia sebut sebagai Zona Stastus Quo. Ini adalah zona ketika banyak orang belum merasa perlu untuk berubah, meski stimulus perubahan itu sudah terbit di ufuk timur.
Jika kita teropong pandemi Covid 19 di Indonesia, ini adalah zona yang kita alami kisaran November 2019 ketika isu menyebarnya virus Corona dari Wuhan sudah beredar, hingga kisaran Februari 2020. Kita sudah mendengar kemungkinan dampak wabah ini, namun tak banyak orang dan organisasi mempersiapkan diri. Meme yang berisi candaan bahwa orang Indonesia biasa makan bakso sambil rumahnya terendam banjir seolah indikator kita yang pada masa itu belum peduli.
Tapi jika dilihat lebih luas, zona status quo bisa amat panjang jika, misalnya, kita kaitkan dengan pola kerja jarak jauh (remote working) yang akhirnya menjadi tren 2 tahun belakangan ini. Kerja jarak jauh bukan tren kemarin sore, ia sudah ada sejak lama. Seorang kawan bahkan telah mendirikan perusahaan selama 5 tahun lebih dan kerja jarak jauh sejak lahir hingga kini. Artinya, ilmunya sudah ada dan dilatih orang sejak lama. Namun kita masih ada di zona status quo saat itu.
Barulah ketika memasuki Maret 2020, kita memasuki zona kedua dalam perubahan, yaitu Zona Disrupsi atau Zona Gangguan. Dalam zona ini, perubahan biasanya diperkenalkan atau bahkan dipaksakan. Kebijakan PSBB hingga PPKM yang diterapkan pemerintah saat itu membuat banyak organisasi kalang kabut, dari organisasi bisnis hingga pendidikan. Orang yang stres terus-menerus kerja dari rumah bahkan hingga mengalami cabin fever meningkat. Sebuah perusahaan bahkan menyediakan jasa konselor untuk membantu karyawan mereka yang mengalaminya. Penjualan menurun, sebab permintaan pun demikian. Mereka yang, sebaliknya, mengalami peningkatan penjualan pun, tak sanggup menangani permintaan yang membludak.
Ini adalah zona ketika banyak orang terganggu dengan perubahan dan mengalami banyak ketidaknyamanan. Ia selalu hadir dalam perubahan besar atau pun kecil. Hemat saya, perubahan sesederhana pergantian kepemimpinan dalam tim pun rentan terhadap zona ini.
Namun berita baiknya, zona ini sebenarnya tak permanen. Manusia adalah makhluk adaptif yang sejatinya dapat menemukan cara-cara untuk bertahan hidup. Namun kedalaman palung zona gangguan memang ditentukan oleh keputusan untuk menerima perubahan dan mulai mencari cara-cara yang berbeda. Titik keputusan ini disebut dengan Point of Decision.
Setelah orang menerima perubahan, mereka bisa masuk ke zona berikutnya yang disebut dengan Zona Adopsi. Disebut demikian karena orang di zona ini bersedia untuk mencoba dan mengadopsi cara-cara baru, perilaku-perilaku baru. Saya senang menyebut zona ini dengan Zona Pembelajaran.
Zona Adopsi/Pembelajaran ini tak mudah. Sebab mencari cara baru artinya mencoba hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kita lihat bagaimana guru-guru mulai membuat video rekaman mereka mengajar. Perusahaan pizza kenamaan menggelar produknya di depan toko bahkan menjualnya dengan sepeda motor. Jenama kafe terkemuka yang biasa dianggap elit karena sering jadi tempat pertemuan mengembangkan produk kopi dalam kemasan botol. Semua bereksperimen. Semua mencoba keluar dari zona nyaman mereka. Sampai kapan? Belum tahu.
Saya merasa saat ini kita masih ada di zona ini. Dunamis, perusahaan konsultan tempat saya berada misalnya, telah menemukan format yang relatif ajeg untuk pembelajaran jarak jauh secara daring. Tapi toh permintaan pelanggan begitu rupa sehingga yang dianggap ajeg itu sejatinya terus diadaptasi. Zona ini juga bisa disebut sebagai zona inovasi, tempat ide-ide baru yang orisinil lahir. Keterpaksaan kita selama 2 tahun lebih membuat banyak rintisan inovasi muncul, sebab ia tak semata dikungkung oleh untung rugi. Coba saja, sebab yang lama memang tak lagi bisa kita andalkan.
Dan akhirnya adalah Zona Kinerja Lebih Baik. Inilah zona ketika cara-cara baru menemukan standarnya dan mulai menunjukkan hasilnya. Dalam kacamata ambidextrous organization, kita sudah menemukan sisi explore yang sama baiknya dengan exploit. Kita punya bisnis masa depan yang sudah menghasilkan keuntungan di tangan kanan, sementara masih menjaga keuntungan yang sama dari bisnis lama di tangan kiri. Meskipun demikian, zona ini tak lama, sebab pasar berubah, kompetisi berkembang. Ia yang dulu jadi inovasi segera diimitasi dan menjadi standar. Organisasi yang tak mau bertahan di status quo mesti menggerakkan kembali ke zona disrupsi.
Lalu di mana kah kita di tahun 2022? Dalam pemahaman saya, kebanyakan organisasi ada di zona adopsi. Cara-cara baru sudah ditemukan, namun belum sampai pada pencapaian yang signifikan. Pun mereka yang permintaannya melonjak efek pandemi, tentunya bisa melihat terjadinya penurunan kembali. Maka meski situasi membaik—ada berita kemungkinan PPKM akan dihentikan—kita tak semestinya berpuas diri dan ingin bernostalgia waktu sebelum pandemi.
Kita perlu menerima kenyataan bahwa masa depan tak pernah sama dengan masa lalu. Pola kerja jarak jauh adalah potensi, ia perlu dicari keajegannya dalam eksekusi, bukan dihilangkan sama sekali. Produk-produk baru yang bisa diakses secara daring perlu dicermati pasarnya, bukan dihentikan penjualannya. Pembelajaran mandiri yang telah dirintis perlu dikokohkan kebiasaanya, bukan dikembalikan berbasis kelas kembali. Intinya, kita sekarang punya dua tangan yang sedang bekerja dengan sama baiknya. Ini bukan saatnya untuk mengistirahatkan salah satu. Ini justru saatnya untuk menentukan arah lebih tajam, bagaimana kedua tangan ini bisa menjangkau lebih baik, lebih banyak.
Teddi Prasetya Yuliawan
Facilitator, Dunamis Organization Services