Melihat Hal Yang Tidak Terlihat
Mayoritas orang melihat apa yang “ingin” mereka lihat, bukan yang “benar-benar” mereka lihat.
Beberapa waktu lalu, saya dan keluarga menyempatkan diri berkunjung ke sebuah Mall untuk pertama kalinya selama pandemi. Betapa kagetnya kami, ternyata banyak sekali toko-toko yang tutup. Tidak terkecuali dengan merek-merek yang ternama dan terpercaya. Kemudian, saya dan istri berdiskusi untuk mengira-ngira berapa banyak pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaan dan keluarga-keluarga yang kehilangan sumber penghasilan.
Saya seorang Pekerja kantoran. Alhamdulillah, kantor masih mempertahankan saya. Di lingkungan saya pun, belum ada informasi bahwa ada yang kehilangan pekerjaan. Pendapatan menurun sih pasti, tapi belum ada sampai yang dirumahkan ataupun dipecat.
Kejadian di mall tersebut, membuka mata saya bahwa sesuatu yang tidak atau belum saya lihat (baca: tahu) bukan berarti tidak ada. Yang tidak atau belum menstimulasi indera saya, bukan berarti tidak dirasakan oleh orang lain.
Kita kadang dibutakan oleh “mata” kita. Dibutakan oleh sudut pandang kita. Hal-hal yang kita anggap sebagai sebuah “realitas” belum tentu benar-benar nyata.
“Kebutaan” ini sangat berbahaya bagi kepekaan kita sebagai manusia terutama dalam penggalian informasi dan pengambilan keputusan. Jika kita adalah seorang pencinta kopi, kita akan lebih sering mencari informasi tentang manfaat kopi bagi tubuh kita dibanding informasi mengenai bahaya kopi bagi lambung. Otomatis, keputusan yang kita ambil mengenai kopi akan lebih mengarah kepada kepentingan kita dibanding keputusan yang seharusnya kita ambil. Hal ini berlaku juga berlaku pada keputusan kita dalam pekerjaan dan bisnis. Atau dalam lingkup yang lebih besar lagi, yaitu keputusan-keputusan kita dalam menentukan hidup kita.
Jangan-jangan, acuan kita dalam memilih pasangan didasarkan pada apakah ia mirip dengan artis korea yang kita sukai dibanding apakah ia mampu membuat kita menjadi lebih baik.
Lalu bagaimana mengatasi “kebutaan” ini?
Berikut adalah tipsnya:
1. Selalu uji sudut pandang kita. Mungkin saja sudut pandang yang kita miliki sudah tidak relevan lagi. Sudut pandang yang kita miliki ketika kita masih sekolah, tidak akan relevan lagi apabila kita sudah bekerja. Saya tidak bisa membayangkan anda pergi ke kantor menggunakan seragam SD, lengkap dengan tas gendong gambar tokoh kartun dan kalung botol minum.
2. Miliki pola pikir petugas pom bensin. Selalu mulai dari 0 (nol). Apa yang kita tahu dari suatu masalah mungkin hanya sepersekian persen dari masalah itu sendiri. Jangan berlagak paling tahu, Saya khawatir kita akan “dibacem” sama yang lebih ahli.
3. Kumpulkan beberapa informasi yang berbeda dan kalau bisa bertentangan antara satu informasi dengan informasi yang lain. Baik dari internet, buku atau tukar pikiran dengan orang lain. Ini akan membuat pemahaman kita menjadi lebih utuh dan lebih kaya.
4. Berlatihlah untuk mempertanyakan sudut pandang Anda. Jangan telan bulat-bulat. Sudut pandang Anda bukan cilok! Ajukan pertanyaan “apa yang terjadi apabila..” pada sudut pandang yang berbeda. Misalnya, kita yakin jika makan bubur ayam itu lebih enak diaduk. Bukan langsung (tanpa diaduk). Maka ajukan pertanyaan pada diri kita, “apa yang terjadi apabila kita makan bubur ayam langsung atau tanpa diaduk?” Cari informasi-informasi terkait jawabannya. Mungkin saja informasi tersebut dapat memperkaya wawasan Anda atau bahkan mengubah sudut pandang anda.
Teman-teman, yuk kita basmi “kebutaan” terhadap sudut pandang yang berbeda. Karena beberapa tahun ini negara kita sempat terpecah belah akibat kita terlalu yakin pada sudut pandang kita sendiri. Keyakinan kita pada sebuah hal yang kita anggap “benar” bukan berarti kita berhak untuk mengatakan bahwa sudut pandang orang lain “salah”. Ingat, kita terbiasa untuk melihat hal-hal yang “ingin” kita lihat. Bukan yang “sebenarnya” terlihat.
Arya Erlangga
Facilitator, Dunamis Organization Services