Bos Harus Pulang Malam: Mitos atau Fakta?
Tetangga saya sering banget pulang larut malam. Tentu saja ini mengundang pertanyaan dari kami, para tetangga lain, karena biasanya jam 17.00 ia sudah nongkrong di pos ronda. Kemudian saya dan para tetangga lain mulai kasak-kusuk. Malah ada yang secara sukarela untuk menanggalkan pakaian agar kami bisa menangkap basah apa yang sebenarnya ia kerjakan. Mungkin ia berpikir bahwa tetangga kami ini semacam binatang jadi-jadian yang sempat ramai dibicarakan beberapa saat yang lalu. Saya pun memutuskan untuk mengajak tetangga kami yang mencurigakan tersebut bicara. Saya bertanya kepadanya mengapa kok sekarang sering sekali pulang malam. Ternyata, ia baru saja dipromosi sebagai manager. Pekerjaan yang harus ia lakukan sebagai manager ternyata lebih banyak ketimbang ketika ia masih berada di posisi staf.
Kisah di atas adalah fiksi. Tapi yang dirasakan oleh tetangga saya dalam kisah di atas, sama sekali bukan fiksi. Itu juga yang mungkin dirasakan oleh kita, terutama kita yang baru saja diangkat sebagai pemimpin.
Mengapa hal tersebut mereka rasakan?
Karena masih banyak pemimpin yang belum bisa membedakan secara jelas mana “pekerjaan” dan mana “tanggung jawab”. Sebagai seorang pemimpin, seharusnya yang bertambah itu adalah jumlah tanggung jawabnya bukan jumlah pekerjaannya. Apabila sebelumnya, ia hanya bertanggung jawab pada hasil kerjanya sendiri maka setelah menjadi pemimpin ia juga bertanggung jawab pada hasil kerja anak buahnya. Ingat! Bertanggung jawab pada hasil kerja anak buahnya, bukan melaksanakan pekerjaan anak buahnya. Banyak para pemimpin baru, lebih sering mengambil alih pekerjaan anak buahnya dibanding memampukan anak buahnya untuk melakukan pekerjaan mereka sendiri.
Betul, di 90 hari pertama di saat kita baru saja diangkat sebagai pemimpin adalah masa-masa yang menegangkan. Rapot kita diharapkan lebih banyak yang biru (dinilai bagus oleh bos besar) dibanding warna merah. Namun mengerjakan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab anak buah kita itu bagaikan memakan buah simalakama. Kalau dimakan bapak mati, gak dimakan Ibu kawin lagi. Tidak kita kerjakan, target tidak tercapai. Kalau dikerjakan, waktu dan tenaga kita gak cukup.
Saya tidak berkata bahwa haram bagi kita sebagai pemimpin untuk melakukan tugas-tugas anak buah kita. Boleh-boleh saja mengerjakan pekerjaan mereka bila dibutuhkan. Namun sebaiknya batasi saja hanya 20% dari waktu kerja kita per hari. Dikit banget? Ya iya lah. Kan tugas kita lebih kepada memimpin mereka. Maka habiskanlah 80% waktu kita untuk melakukan coaching, melakukan delegasi, memberikan feedback, melakukan montoring, mengembangkan kemampuan mereka dan tanggung jawab-tanggung jawab kepemimpinan lainnya.
Teman-teman, meningkatnya posisi kita di kantor tidak berbanding lurus dengan bertambahnya jam kerja kita lho.. Namun berbanding lurus dengan bertambahnya tanggung jawab untuk mengembangkan anak buah kita. Semakin hebat anak buah, semakin mudah pekerjaan-pekerjaan kita. Namun jika teman-teman sebagai seorang pemimpin masih ada yang pulang larut malam, silahkan cek ruangan bos anda. Mungkin saja beliau sedang menjaga lilin untuk kita.
Arya Erlangga
Facilitator, Dunamis Organization Services