Toxic Leader? Jauh-Jauh Deh

Toxic Leader? Jauh-Jauh Deh…

 

Sejak jaman dulu toxic leader sudah ada. Dari Kaisar Nero sampai Stalin. Mereka menjalankan kekuasaan dengan warisan yang tidak bertahan lama. Nero yang dibenci rakyatnya dan akhirnya bunuh diri di usia 30 tahun. Stalinisasi yang dianggap sistemnya bisa mengancam kehidupan semua orang akhirnya dihancurkan.

Toxic leader adalah pemimpin yang sikap, perilaku, dan motivasinya terpusat pada dirinya sendiri dan berdampak buruk kepada karyawan (menurut United States Army – Forbes). Contohnya adalah mendelegasikan pekerjaan yang tidak realistis, manipulatif, menyalahkan orang lain, dan lain-lain. Pemimpin seperti ini tidak menjalankan tanggung jawab dan mengabaikan perannya untuk memimpin, sehingga kehadirannya bukan membuat situasi jadi membaik tetapi malah memburuk.

Di level organisasi, jika dibiarkan, toxic leader bukan hanya berdampak terhadap anggota tim tetapi akan berpengaruh besar terhadap perusahaan. Misalnya suasana kerja di satu departemen menjadi negatif. Juga tingkat keterlibatan anggota timnya rendah. Maka, ini dapat berdampak terhadap perusahaan: produktivitas menjadi turun, turnover malah naik, anggaran rekruitmen jadi membengkak, dan yang pasti pencapaian target akan terpengaruh karena harus gonta-ganti personil dan men-training karyawan baru lagi.

Dalam jangka penjang, perusahaan tidak akan pernah mendapatkan talent-talent bintang karena mereka sudah memutuskan keluar untuk mendapatkan perusahaan yang menghargai mereka. Sehingga satu-satunya cara untuk mendapatkan talent adalah membajak dari luar. Ini pun dapat membawa masalah baru karena adanya masalah budaya.

Berikut ini, menurut Forbes, ada lima cara yang dapat dilakukan untuk tidak menjadi toxic leader?

  1. Delegasikan Tugas yang Masuk Akal

Berikan tugas yang why, what, dan how-nya jelas. Anggota tim akan memberikan apresiasi kalau tugas yang diberikan adalah jelas dan meaningful. Jangan buat anggota tim menjadi stres karena beban kerja yang berlebih atau pekerjaan yang terlalu kompleks. Jika mereka tidak dapat meng-handle tugas itu dengan baik, mereka akan kehilangan rasa percaya diri yang dapat membuat tingkat keterlibatan dirinya turun.

  1. Beri Kesempatan Anggota Tim untuk Bertumbuh

Tanyakan ke anggota tim apa yang mereka inginkan untuk bertumbuh, jangan berasumsi. Berikan mereka kesempatan untuk berkembang sesuai passion mereka. Lakukan coaching dan mentoring.

  1. Hargai Orang Lain

Salah satu hal terpenting dalam menciptakan suasana kerja yang positif adalah dengan memberikan apresiasi kepada anggota tim atas hasil kerja yang baik. Menurut survei, 26% dari anggota tim mengatakan bos mereka tidak memberikan pujian dengan benar. Menurut Gallup, hanya 1 dari 4 orang yang minggu lalu menerima apresiasi. Jika orang diberikan apresiasi, produktivitas meningkat 9% dan kecelakaan kerja serta ketidakhadiran turun hingga 22%.

  1. Berinteraksi Secara Konstruktif

Berinteraksi secara konstruktif berarti berkomunikasi dengan cara yang membangun, mendukung, dan memperbaiki situasi atau hubungan, daripada merusak atau mengkritik secara tidak membangun. Survei dari FlexJobs mendapatkan bahwa, 40% anggota tim mengatakan atasan mereka berperilaku pasif-agresif, 33% anggota tim mengalami perilaku kasar dari atasan, 21% menganggap atasannya tidak tahu batasan-batasan, 22% melihat atasan mereka suka menggosipkan anggota timnya sendiri atau karyawan lain, 20% lagi punya atasan yang suka mengancam, dan terakhir, 18% anggota tim mengalami diskriminasi oleh atasan atau dikomentari/diperlakukan secara tidak pantas.

Sangatlah jelas bahwa perilaku-perilaku seperti ini tidak dapat diterima. Hindari ini. Anda harus punya keyakinan kalau Anda mampu berhubungan secara positif dengan orang lain. Pemimpin harus berinteraksi secara konstruktif untuk membangun hubungan yang kuat dengan anggota tim mereka, meningkatkan kepercayaan dan komunikasi yang efektif, serta mendorong kolaborasi dan inovasi. Agar dapat menciptakan lingkungan kerja yang positif di mana setiap anggota tim merasa didengar, dihargai, dan termotivasi untuk mencapai tujuan bersama.

  1. Tinjau Budaya Secara Keseluruhan

Ram Charan mengatakan, jika Anda ingin mengubah budaya suatu organisasi, ubahlah perilaku kolektif dari semua pemimpin disana.

Setiap pemimpin punya pengaruh yang besar terhadap karakter organisasi. Anda pun juga menciptakan budaya spesifik untuk tim Anda — melalui bagaimana Anda berbicara, berperilaku, dan pilihan-pilihan yang Anda buat.

Gallup menemukan bahwa orang-orang yang paling menghargai budaya adalah yang peduli, yang ramah, menyenangkan, memiliki integritas, inovatif, inklusif, berorientasi pada layanan, dan profesional. Serta, kemungkinan besar mereka akan melepaskan diri ketika mereka mengalami hal yang toxic, tidak terorganisir, terlalu fokus pada uang bukan orang, penuh tekanan, kacau dan serba terburu-buru.

  1. Ubah Mindset

Ini satu tambahan dari saya — Menurut John Maxwell di bukunya “360° Leadership”, kata ‘pimpin’ secara harfiah berarti ‘bimbing’. Bahwa seorang pemimpin adalah mereka yang menggunakan jabatan dan wewenangnya untuk mengarahkan bawahannya dalam rangka mencapai tujuan kelompok — bahkan sampai tujuan organisasi. Ini kurang lebih sama seperti yang ada di kamus KBBI yang berarti; membina, mengatur, menuntun, menunjukkan, atau memengaruhi. Pada dua definisi ini tidak ada kata ‘terpusat pada diri sendiri’ yang merupakan ciri dari toxic leader. Kesimpulannya: Anda sebagai pemimpin, Anda harus ‘mengarahkan, mengatur, dan membimbing’. Semuanya dirangkul.

Jika ingin cepat sampai, pergilah sendirian.

Tapi jika perjalanannya jauh, pergilah bersama-sama.

— pepatah Afrika Ubuntu.

 

 

Yudhea Wattimena

Facilitator, Dunamis Organization Services