Mengapa ‘Nice Guy’ Sulit Sampai Ke Puncak?
Dulu sekali ada seorang berkata, “Dia baik, tapi nggak bisa kalau jadi leader.” Dalam hati, saya bertanya, “Ah masa? Apa bener begitu?”. Perlu waktu lama bagi saya untuk mencerna ini.
Setelah bekerja lebih dari dua dekade dimana saya juga sempat bekerja di HR perusahaan besar yang berhubungan dengan leaders dan talents, akhirnya saya menemukan satu riset yang dilakukan oleh Stanford University yang berhubungan dengan pertanyaan tadi.
Di riset tersebut mereka menemukan, bahwa jika seseorang berbuat baik kepada orang lain maka itu akan mempengaruhi reputasi orang tersebut. Kemudian peneliti membagi individu menjadi dua jenis orang: orang yang prestise, dan orang yang dominan.
Menurut Robert Livingston dari Northwestern University, beliau mengatakan, “Prestise disini bukan berarti gengsi, tetapi adalah orang yang punya kualitas mau rela berkorban dan memiliki standar moral yang kuat.” Dia mencontohkannya seperti Bunda Teresa. Ia menambahkan, “Menurut riset, orang yang mau memberi untuk orang lain justru tidak dianggap sebagai leader yang tangguh. Kemurahan hati dapat menjadi tanda kelemahan bagi seorang pemimpin.”
Pada umumnya, orang yang baik akan mendapat tempat di hati setiap orang dan ia akan selalu dikenang atas perbuatan baiknya. Studi tersebut mengatakan bahwa orang dengan prestise tinggi dianggap sebagai leader yang diinginkan tapi hanya dalam konteks yang non-kompetitif.
Jadi siapa contoh leader yang dominan? Para peneliti mengatakan: Al Capone. Ia adalah sosok individu yang memiliki dominasi tinggi. Di era yang penuh persaingan saat ini individu yang memiliki sedikit altruistik dipandang lebih dominan dan lebih menarik sebagai leader. Leader yang egois atau agresif tentu dapat membuat orang lain menjadi tidak respect padanya, tetapi sebaliknya malah dapat meningkatkan persepsi dominan dari leader tersebut.
“Temuan kami menunjukkan bahwa orang ingin memiliki sosok yang dihormati dan dikagumi untuk memimpin mereka pada saat damai. Tetapi ketika ‘keadaan sedang susah’ mereka pengen punya individu yang dominan yang mampu memimpin kelompok,” kata Nir Halevy, seorang penulis dan asisten profesor perilaku organisasi di Stanford GSB.
“Orang yang prestise akan dipandang lebih tunduk dibandingkan dengan yang mereka dominan. Menjadi terlalu baik dapat memiliki konsekuensi negatif bagi leadership”, lanjut Halevy. “Orang yang baik bakal sulit mencapai puncak ketika sebuah kelompok membutuhkan leader yang dominan untuk memimpin mereka pada saat konflik.”
Penelitian Stanford di atas tadi menggunakan perspektif responden dalam memilih leader di masyarakat, yang mana ini juga berlaku di dalam organisasi. Di dalam organisasi, seseorang dapat memiliki kesempatan untuk dipromosikan menjadi leader. Kesempatan itu bisa didapat jika atasannya memiliki perspektif positif terhadapnya. Jika yang ada hanya negatif, maka kesempatan itu tidak akan datang walaupun anggota timnya cakap secara karakter dan kompetensi.
Menurut William Raduchel, “Jangan pilih-pilih pekerjaan. Pilih atasan. Atasan pertama Anda adalah faktor terbesar dalam kesuksesan karier Anda. Atasan yang tidak mempercayai Anda tidak akan memberikan Anda kesempatan untuk tumbuh.”
Di medio 2000-an ada sahabat saya yang menjadi sales officer di salah satu perusahaan televisi. Performance-nya bagus luar biasa, selalu mencapai target. Tapi ia merasa gundah ketika sudah dua kali kejadian dimana ada dua temannya yang sebelumnya berada di posisi yang sama, kemudian menjadi atasan dia. Padahal mereka bertiga memiliki pengalaman kerja yang sama dan usia yang sama. Bahkan kedua temannya itu adalah juniornya di perusahaan.
Di beberapa kali kesempatan sampai di tahun yang kesembilan, ia bertanya ke manajernya dan HRD dengan pertanyaan yang sama, mengapa ia tidak diberi kesempatan. Mereka menjawab, “Kamu orang baik, tapi belum waktunya menjadi leader. Tunggu aja, nanti akan ada kesempatan buat kamu.” Jawaban yang berulangkali sama itulah yang membuatnya tidak puas. Ia merasa sudah memiliki karakter dan kompetensi untuk diangkat ke posisi yang lebih tinggi. Tidak lama, ia langsung mengajukan surat pengunduran diri dan pindah ke kompetitor. Di sana ia menjadi manager. Lima belas tahun kemudian ia menjadi direktur di salah satu perusahaan.
Menurut Socrates tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan. Menurutnya, tindakan ‘memilih’ membutuhkan skill dan pengetahuan yang mumpuni. Celaka dua belas jika seorang atasan tidak memiliki kedua hal tersebut yang akan membuat dia akan kehilangan talent-talent terbaiknya.
Indonesia banyak memiliki kisah orang hebat seperti Tanri Abeng dan Sofyan Jalil yang melepaskan potensi terhebat Robby Johan di Garuda Indonesia & Bank Mandiri serta Ignatius Jonan yang sukses di KAI. Atau siapapun sosok yang memilih seorang office boy di First National Bank untuk diberi kesempatan belajar lagi sehingga dalam waktu 19 tahun – office boy tadi – Houtman Zainal Arifin, dapat menjadi vice president Citibank.
Kesimpulan:
Bahwa untuk mengenal traits seperti prestise dan dominan dari anggota tim adalah baik. Namun diperlukan juga trust yang tinggi dari seorang atasan untuk memberikan kesempatan kepada mereka supaya dapat lebih mengepakkan sayapnya lebih lebar lagi. Jika tidak, seekor elang tetaplah anak ayam.
Yudhea Wattimena
Facilitator, Dunamis Organization Services